Eating Clean
Pertengahan tahun lalu tepatnya di bulan
ramadhan, sembari menunggu bedug
maghrib di sebuah toko buku ternama di pusat perbelanjaan daerah Jakarta
Selatan, secara tidak sengaja saya menemukan sebuah buku yang sedikit banyak telah mengubah hidup
saya sampai saat ini. Inge Tumiwa, nama yang cukup asing di telinga saya saat
itu telah memotivasi saya melalui bukunya yang berjudul Eating Clean. Sejak saat
itu, saya mulai menggali informasi dengan membaca berbagai
artikel, buku, hingga media sosial.
Bahkan saya yang tadinya bukan pengguna setia youtube, sekarang semakin sering
menonton youtube untuk mencari informasi tentang pola makan yang sehat. Diskusi dengan temanpun mulai berubah dari gossip menjadi sharing tips, dari ngomongin konspirasi menjadi tukar informasi, dan haha hihi menjadi lebih berisi.
Di tulisan saya yang pertama
ini (lagi-lagi terinspirasi oleh Inge Tumiwa untuk menulis), saya mau mencoba sharing sedikit tentang pola
makan yang sehat (menurut saya).
Saya sangat picky terhadap makanan bukan karena somebody told me to atau tanpa alasan yang jelas, saya ingin hidup
saya, orang yang saya sayangi, dan bumi yang saya tempati tetap terjaga
kesehatannya. Sebenarnya dari makanan proses yang marak sekali di berbagai belahan
dunia muncul banyak teori-teori tentang kejahatan industri, kalau kamu tertarik
saya rekomendasikan untuk membaca artikel karangan Gary Taube yang berjudul
“What if It’s All Been a Big Fat Lie?” dan menonton “The Dark side of
Chocolate”, “The Secrets of Sugar”, dan “Killer at Large”. Tapi pelan-pelan ya!
Jangan sampai jadi depresi sendiri. Cause
I was. Haha
I’m not
the healtiest person, i’ll never be, and i admit that. Kadang saya masih suka mengkonsumsi makanan yang coba saya hindari kok. Tapi lagi dan lagi saya berusaha
semaksimal mungkin untuk menguranginya. Kalau enggak mepet banget saya akan mencoba menghindarinya. Saya berusaha menghindari
makananan/minuman manis, makanan cepat saji, dan makanan proses/kemasan. Lalu makanan seperti apa yang saya konsumsi?
Saya mengkonsumsi real food yaitu makanan yang tidak banyak ditambah zat yang
aneh-aneh,
bukan makanan proses atau makanan olahan yang diproduksi dengan mengubah bentuk dan rasa dari bahan asli/alamiah
untuk alasan kepraktisan dan keawetan. Namun sayangnya, sebagian bahan makanan
yang sudah diolah umunya dapat menganduk lemak, gula, dan garam berlebih. Intinya, consuming food the way
nature delivered it, or as close to it as possible. Jika hanya enak di lidah tapi miskin nutrisi,
untuk apa? Entah sugesti atau bukan, ketika mengkonsumsi makanan yang saya
anggap tidak sehat untuk tubuh, saya merasa pusing atau sakit perut, mungkin
tubuh saya protes. Kata orang ini karena sugesti saya kepada diri saya saja.
Tapi saya menganggap ini sebagai ‘alarm’
bagi tubuh saya, agar kembali makan dengan benar dan sehat.
“Makan
itu gausah ditahan-tahan!”
“Apaan
sih kamu masih muda juga, makan kok diatur-atur”
“Yaelah
gausah lebay gitu, makan ya makan aja!”
“Halah
sok sehat!”
“Hidup
itu buat dinikmatin, ngapain sih nyiksa diri?”
Saya sudah terbiasa
mendengar statement
seperti ini, namun statement terakhir yang paling tidak masuk di akal saya. Ya saya tahu hidup untuk dinikmati, tetapi dengan
cara yang benar. Every time we eat or
drink we are either feeding disease or figting for it. Seperti KPR, kalau kita
mengkonsumsi makanan yang tidak sehat secara terus-menerus, ketika ‘lunas’ kita akan
mendapatkan ‘rumah’ berupa penyakit. Pada manusia modern yang serba ingin cepat
dan instan, fungsi makanan bukan lagi sekadar untuk kesehatan dan kehidupan, makanan sudah
bergeser pada kenikmatan, alat komunikasi, dan alat sosialisasi. Kalau kata Akas (panggilan saya untuk kakek) “makan itu untuk hidup, jangan hidup untuk makan”. Kebanyakan anak muda jaman
now, lebih
senang mengkonsumsi makanan cepat saji yang bergaya kebarat-baratan (fast food), semakin susah disebutkan lidah
semakin banyak yang tertarik, padahal menurut penelitian yang saya baca, fast
food merupakan salah satu penyebab utama semakin
bertambahnya jumlah penderita obesitas dan penyakit kronis modern lainnya.
Kalau kita perhatikan, kita sebagai manusia
modern, in daily basis sangat akrab dengan gorengan,
minum teh pagi-pagi, sarapan sereal, roti dengan berbagai selai, dan sekotak
susu, “biar sehat” katanya. Saya pribadi mengurangi
konsumsi susu, karena menurut
penelitian yang saya baca, sebenarnya tubuh manusia dewasa
tidak memerlukan susu lagi. Lantas kenapa masih latah dengan prinsip “empat
sehat lima sempurna”? Padahal sejak tahun 2014, prinsip tersebut sudah tidak berlaku lagi, Kemenkes mengeluarkan
penggantinya yaitu prinsip “gizi seimbang”. Gizi seimbang adalah susunan
makanan sehari–hari yang mengandung zat-zat gizi dalam jenis dan jumlah yang
sesuai dengan kebutuhan tubuh, dengan memperhatikan prinsip keanekaragaman atau variasi
makanan, aktivitas fisik, kebersihan, dan berat badan (BB) ideal. For me, it’s really much better. Kebiasaan saya ini pun mulai saya terapkan ke
orang-orang terdekat saya.
Ketika kita mencintai seseorang atau sesuatu,
apa yang kita lakukan? Tentu kita menjaganya sekuat yang kita mampu &
berusaha memberikan sebaik mungkin yang kita bisa bukan? Lantas sudah kah kita
melakukannya untuk diri kita sendiri? Seperti kata orang bijak “love yourself first, because that’s who you’ll be
spending the rest of your life with.”
Mencintai diri sendiri adalah salah satu wujud
syukur kepada tuhan, bukan? Kita diberi tuhan kepercayaan berupa tubuh yang
nyaris sempurna, lantas mengapa kita tidak berusaha sebaik mungkin untuk menjaganya?
You’re
smart and you know what real food is, so stop eating crap.
Comments
Post a Comment